Tuesday, November 06, 2007
Jarum Hujan Itu...Ri
Sesiang ini matahari belum tampak, Ri...masih bermalas malasan dalam selimut awan mungkin....?
Sudah seminggu ini aku merasa kehilangan pagi. Karena kemarau tak menyisakan terik barang sedikit. Tak ada cahaya matahari yang berdesakan, berebut masuk melalui kisi jendela.
Aku kehilangan pagi, Ri...Musim ini membuat pagi sama saja seperti petang..sama sama tak ada. hanya arloji di pergelangan tangan ini saja yang menjadi pembeda keduanya. Seperti si buta yang meraba ke mana arah tujuan, seperti goyah...tiada pijakan.
Sama Ri, sama ketika kau pergi duabelas tahun silam. Kau kemasi koper dan bergegas pergi. Di ujung peron itu aku terguguk dan diam dalam dingin. Kau pergi bersama rinai, lenyap ditelan deru rel yang bertumbukan dengan roda kereta. Dan aku....basah dalan hujan air mata dan rinai yang mulai turun satu satu.
Tak langsung beranjak, aku masih duduk di sudut peron, dalam riuh lalu lalang orang yang berkejaran dengan waktu. Kugambar sketsa wajahmu lengkap dengan senyum, namun petir mangacaukan lamunku. hilang...persis ketika keretamu tak lagi tampak di ujung kelokan.
Duabelas tahun, Ri...dan aku masih mengingatmu. Dan kau ingat? Satu pot besar bunga melati pemberianmu itu kini tumbuh subur. Bunganya tak lagi terhitung...Dulu, katamu...kalau saja bunga melati itu berbunga genap ; entah itu enam, delapan, sepuluh, atau berapapun...asalkan genap kau akan datang. Tapi tak ada Ri, kau tak pernah datang. Mungkin melatiku itu tak pernah berbunga genap, entahlah...mengapa aku memercayainya.
Ri...sesiang ini hujan menemani, rintik rintik menyerupai jarum yang tumpah dari langit. Awan memahkotai bumi, membuatnya murung, merintih karena perih.
Aku percaya kau akan datang lagi, Ri...
Entah di tahun ke sekianbelas penantianku...
Aku percaya..seperti percayaku pada matahari, yang akan bersinar lagi esok hari.
Tamantirto, 06 November 2007
to : Rizaldy Sriwardhana
Sudah seminggu ini aku merasa kehilangan pagi. Karena kemarau tak menyisakan terik barang sedikit. Tak ada cahaya matahari yang berdesakan, berebut masuk melalui kisi jendela.
Aku kehilangan pagi, Ri...Musim ini membuat pagi sama saja seperti petang..sama sama tak ada. hanya arloji di pergelangan tangan ini saja yang menjadi pembeda keduanya. Seperti si buta yang meraba ke mana arah tujuan, seperti goyah...tiada pijakan.
Sama Ri, sama ketika kau pergi duabelas tahun silam. Kau kemasi koper dan bergegas pergi. Di ujung peron itu aku terguguk dan diam dalam dingin. Kau pergi bersama rinai, lenyap ditelan deru rel yang bertumbukan dengan roda kereta. Dan aku....basah dalan hujan air mata dan rinai yang mulai turun satu satu.
Tak langsung beranjak, aku masih duduk di sudut peron, dalam riuh lalu lalang orang yang berkejaran dengan waktu. Kugambar sketsa wajahmu lengkap dengan senyum, namun petir mangacaukan lamunku. hilang...persis ketika keretamu tak lagi tampak di ujung kelokan.
Duabelas tahun, Ri...dan aku masih mengingatmu. Dan kau ingat? Satu pot besar bunga melati pemberianmu itu kini tumbuh subur. Bunganya tak lagi terhitung...Dulu, katamu...kalau saja bunga melati itu berbunga genap ; entah itu enam, delapan, sepuluh, atau berapapun...asalkan genap kau akan datang. Tapi tak ada Ri, kau tak pernah datang. Mungkin melatiku itu tak pernah berbunga genap, entahlah...mengapa aku memercayainya.
Ri...sesiang ini hujan menemani, rintik rintik menyerupai jarum yang tumpah dari langit. Awan memahkotai bumi, membuatnya murung, merintih karena perih.
Aku percaya kau akan datang lagi, Ri...
Entah di tahun ke sekianbelas penantianku...
Aku percaya..seperti percayaku pada matahari, yang akan bersinar lagi esok hari.
Tamantirto, 06 November 2007
to : Rizaldy Sriwardhana
Subscribe to Posts [Atom]