Friday, June 30, 2006

A Month

Tinggal satu hari saja
Maka genaplah menjadi bulan

Kemarin, Aku keletihan mengejar waktu
Yang berlari kencang tak mau menunggu

Tapi, ketika tercukupkan hari itu
Bandul detik seakan melemah
Stagnan di pojok ruang sana
Mengombang ambingkan kelu diujung lidah
Kutelan ludah berkali
Sekedar basahi kerongkongan meradang

Lewat sudah
Aku tertatih...
Melangkah menuju kebun maze
Lalu kehilangan arah
Tersesat di belukarnya
Tak tau jalan pulang, dan tak tau kemana melanjutkan

Ah waktu...
Kau bukan penentu



Nai, 290606/2000hrs

Thursday, June 29, 2006

HAVE AND HAVEN'T

Rasa memiliki adalah sebuah rasa atas kepemilikan kita terhadap apapun kita anggap sebagai milik kita. Sudah seharusnya kita menjaga dengan baik apa yang sudah kita miliki ini dan berucap syukur akan kesempatan yang diberikan untuk sedikit merasakan apa rasanya memiliki. Namun memiliki kadang membuat jiwa menjadi serakah, tak ingin berbagi. Tak rela membiarkan orang lain mengambil secuil dari apa yang kita miliki. Menganggap bahwa apa yang menjadi punya kita adalah mutlak milik kita. Padahal sesungguhnya semua yang hadir dalam hidup ini adalah mutlak bersifat sementara.

Kita terlena dengan kilau gemilau perasaan nyaman akan rasa memiliki. Tanpa menggubris logika yang menjerit jerit mengingatkan. Kita terbuai dengan rasa yang mematikan rasa itu sendiri secara perlahan. Memiliki sama saja tidak memiliki menurutku. Semua yang kita miliki, datang, dan hadir dalam hidup kita akan bermuara juga pada ketiadaan.

Bahwa rasa nyaman dengan apa yang dimiliki dan kesombongan hati untuk tidak ingin berpijak pada bumi kenyatan akan membubungkan jiwa pada suatu titik dimana gaya grafitasi masih mampu menjangkaunya. Dan bila saat itu datang...akan jatuhlah jiwa yang sempat melambung tadi. Hancur berserpih. Tak ada lagi yang mampu merakitnya kembali menjadi sebuah jiwa utuh. Yang ada kemudian hanyalah ketimpangan.

Nai/Silent Sunday 240606

Wednesday, June 28, 2006

TENTANG MERCUSUAR

Kokoh menjulang sendirian, di tepian pantai mencekam. Diterpa angin badai dihempas ombak membentur didinding kokoh kesepian. Kau hanya berteman camar dan walet yang hilir mudik diatas kepalamu, masuk melalui celah jendela, dan bertengger di tangga menuju puncakmu.

Kau memeberi terang, penunjuk jalan bagi nakhoda yang kehilangan arah. Kompasnya mungkin rusak, atau bahkan tak berfungsi lagi. Kau juga membantu ketika nakhoda hendak menepi, nyaris terbentur cadas untuk kemudian karam. Kau berjasa wahai mercusuar.

Kau penerang bagi jiwa dilanda gelap, penuntun arah bagi hati yang kehilangan kompas. Mulialah kau wahai dinding berlampu yang menjulang tinggi.

Tapi sayang, kau sendiri kegelapan karena terangmu kau bagi. Kau beri untuk pengemudi perahu hati. Kemudian perahupun menepi, menghampiri marcusuar yang tak letih berdiri di tepi. Satu, dua, tiga perahu datang. Ada nakhoda kapal besar, ada nelayan berperahu kecil, bahkan seseorang yang hanya terdampar di tepian pantai di tempat keberadaanmu. Mereka datang, berlindap di kokohmu, dan kau memberi nyamanmu, perlindungan di teduhmu, dari hujan badai yang membasahi mereka. Kau biarkan nakhoda kapal besar, nelayan, serta pengembara yang terdampar itu memanjat ke pucakmu. Merasakan hangat pijar lampumu lebih dekat ketika dingin menyergap. Tapi apa kau tau wahai mercusuar? Mereka letih, terlalu curam dan banyak anak tangga yang harus mereka lewati untuk mencapai puncakmu. Dan ketika sampai di sana...di puncakmu, kau hanya mampu memberi hangatmu, pada salah satu diantara mereka yang telah bersusah payah menggapaimu. Kau abaikan yang lainnya, yang kelelahan hampir mati kehilangan pegangan.

Nai 2006 Silent Sunday

Tuesday, June 27, 2006

PERCAKAPAN DI SUDUT SENJA SEBUAH HATI DAN LOGIKA

Sudah hampir setiap menit bahkan detik, logika menggedor pintu hati yang tak mau tau. Egois dia, pongah dengan segala rasa yang membanjirinya. Sombong dengan bunga bunga semerbak di sana. Lagi...logika menegur, lalu dengan garangnya marah, karena hati tetap bergeming.

Di sudut sebuah senja. Di tanah lapang berteman sriti dan alang alang, berseterulah hati dan logika. Saling memukul, menampar, dan menertawakan satu sama lain. Awalnya hanya perdebatan kecil diantara mereka. Tak ada yang mau mengalah.
Ilalang tertawa, pun sriti ikut menguping pembicaan mereka.

Senja menguning di sudutnya. Hati kelelahan diterbangkan angan. Dilambungkan keinginan dan harapan akan sebuah ketidaknyataan dalam kesementaraan. Logika tersenyum bijak dan berbisk pada hati "kita harus berjalan beriringan, sayang. Kita harus saling mengingatkan untuk tidak mendominasi satu sama lain"
Kali ini hati lebih mampu mendengarkan, mungkin saja senja begitu syahdu ini penyebabnya.

Logika - hati dan seteru di sudut senja ini, tak kan ada lagi.
Matilah aku, si pengikut hati.

Nai 240606

Monday, June 26, 2006

KEINDAHAN YANG ABSURD

Masih dalam hitungan detik, ketika aku menemukan cuilan keindahan yang terselip dibebatuan, ketika angan dilambung lambungkan di puncak tertinggi bernama langit. Langit biru indah berkilauan, berteman mentari menghangatkan. Dari langit aku bisa melihat segala keindahan dengan nyaman, melihat gugusan bintang dari dekat di waktu malam. Menikmati dinginnya tak sendirian. Tapi sayang keindahan ini membuatku terkadang kehilangan makna keindahan itu sendiri. Keindahan dalam makna apa sebenarnya yang aku rasa saat ini?

Angin...
Kau memberi lebih dari apa yang aku harapkan. Meski aku menempatkan harapku sendiri pada sol sepatu bututku. Sudah panjang jalan sol sepatu ini, menginjak apapun yang ingin ia injak. Entah itu bunga, atau tahi kucing sekalipun. Biarlah...aku memang sudah terlalu letih berharap. Sayapku patah, ada borok di sana. Kau menawarkan jasa roller coastermu untuk aku sejenak menikmati ketinggian itu. Cepat saja, hitungan detik, berputar putar, kemudian aku sudah di bawah lagi. Dengan mual yang tertahan, kepala berputar, dan tungkai kaki yang gemetar, kemudian terhuyung sendirian. Terjerembab dalam lubang berduri. Kembali lukaku berdarah. Tak ada obat lagi yang mampu menyembuhkannya, kecuali hatiku sendiri.

Sungguh aku tak mampu wahai angin...
Biarkan aku menikmati sepoimu, namun tidak untuk indahmu yang mampu menerbangkan aku ke langit biru. Karena segala keindahan yang tampak dan aku rasa saat ini, hanyalah keindahan yang absurd.


Nai 250606/12.25hrs

Saturday, June 24, 2006

TERBANGLAH JAUH

Hari ini, kudapati sepotong hati melolong lolong dalam lorong sepi, gelap dan lembab. Tak ada cahaya disana, menyesakkan. Sesekali tercium bau luka, seperti luka lama membusuk. Kukemasi hati yang semula tak hendak pergi. Sadarku..aku tlah terlalu jauh, menikmati pedih dalam luka yang pelan pelan kau torehkan. Aku tak pernah tau...ada kebohongan di setiap kata yang terucap dari bibirmu. Kau hadir, tanpa tanda sebelumnya, memberi harap...melambungkan, kemudian menghempaskan. Aku jatuh berdebam. Memar sekujur tubuh, hati yang ngilu... "Ah tak apa" bisikku mencoba menghibur diri, toh aku sudah cukup terlindungi dengan hadirmu. Aku sudah sangat bahagia di sini, dipayung rasa nyaman yang kau beri... tapi sungguh aku tak pernah tau, kaupun memberi rasa nyaman yang sama dengan orang lain. Menangis? tak ada lagi yang patut ditangisi. Aku sudah terlalu biasa ditinggalkan...dibuang,dihempaskan.. Kebal rasanya hatiku.

Hari ini...kukayuh langkah dengan tertunduk kepala.
Kecewa tak seharusnya ada. Adamu, hadirmu, akan bermuara jua pada ketiadaan. Aku hanya lintasan, yang letih dilalui beragam peristiwa menyakitkan. Dan bukankah cinta tak kan mengharap balas apapun?. Ya..aku takkan mengharap kau mencintai aku seperti kecintaanku padamu. Kau hadir, bagiku cukuplah. Ada banyak yang berubah, ketika hadir sentuhanmu dalam nuansa hariku. Bukankah akan ada hikmah setelah ini sayang?.

Kau seperti gelembung sabun buatku. Indah berkilauan, sewarna pelangi namun retas...tersentuh dan pecah. Airmu memercik di mukaku.

Ah...Malam malam yang pernah aku lalui bersamamu, berteman cahaya bulan dan gemintang..tak kan aku nikmati lagi malam berikutnya. Aku lelah...meski bahagia menemukanmu dan untuk akhirnya kehilanganmu.
Pergilah jauh...Terbanglah...ceperti balon udara ini, kau akan turun di tempat yang kau tak tau di mana, kapan, dan masanya. Bukankah berkali kau tanyakan padaku akan apa rasanya masa depan?.

Ah..kau yang membuat hariku berwarna sayang.
Biarlah warnamu kuhapus, kugantikan dengan warna abu abu di lembaran hariku.
Kutoreh namamu, di palung hati terdalamku.
Aku sayang kamu...tak bersyarat...

Terbanglah jauh...

Thursday, June 22, 2006

Luruh Daun

undefined
Matahari perlahan tergelincir.
Menuju ufuk tempatnya seharusnya ia beristirahat.
Menepikan rasa yang semula menggeletar seolah ingin meruntuhkan kekuatan hati untuk berpijak di sini.
Kekuatan kaki tak ada lagi, untuk tetap berdiri ataupun berlari.
Hanya mematung dalam kegamangan hati.
Terbang, terombang ambing terhempas yang angin tak berpihak sedikitpun.
Tak ada hinggapan, tempat berbaring, ranting kering, bidang datar, bahkan sebongkah batupun.
Yang ada hanyalah kehampaan..
sunyi menyayat nyayat...


Tak ada lagi ingin, pun rasa, serta harap yang dulu dengan dengan segala warnanya datang begitu saja,
Seperti mati...sepi...
Denting dawai hati, tak lagi menghasilkan harmoni.
Bersitubruk dengan logika yang membawa letih,
Menamparku hingga membuat terjerembab...
Sakit...

Pengharapan yang sempat memutik, tak mungkin dapat aku dipetik.

Aku...
Luruh bagai daun tertiup garang angin di musim kemarau.

Monday, June 19, 2006

RUMAH KAYU SUATU KETIKA

Rumah Kayu...
Rumah di mana segalanya bermuara.Tempat segala keberpulangan
Tak punya ruang untuk kekhawatiran dan kecemasan.
Rumah kecil, berdinding kayu menghangatkan nan kokoh ini berada di lembah hijau menyerupai mangkok besar yang mengelilingi. Ladang strawberry, kebun anggrek dan sepetak tanah ditumbuhi bunga matahari melengkapi indahnya.
Tak jauh dari rumah kayu, menjulang pohon besar di tanah lapang dengan danau kecil berair biru kehijauan.
Wangi segar tanah basah bermandi embun adalah pemandangan indah yang tak pernah kita lewatkan begitu saja.
Di rumah kayu ini hanya ada cinta, kasih sayang, saling menjaga, menentramkan dengan cinta, saling menghargai, dan saling mempercayai.
Kesederhanaan adalah kekayaan tak ternilai bagi penghuninya. Aku, kamu, kita...

Kau sangat menyukai udara sejuk dan lembab ini. "segar", katamu dan aku juga mencintai sejuknya, meski bila malam dan pagi hari, ujung hidungku basah karena alergi. Kau tertawa, melihat ujung hidungku merah dan dingin. Teh hangat bikinanmu dan lilitan syal di leherku akan menyembuhkanku seketika.

Pagi hari, di beranda rumah kayu..
Dua cangkir kopi panas menjadi teman ngobrol kita, melanjutkan sisa cerita kita malam tadi.
Riang cicit burung, kupu kupu warna warni terbang kian kemari menyambut datangnya matahari.
Kau bersiap pergi ke ladangmu, dan aku mengiringimu dengan doa.

Menjelang siang di rumah kayu...
Setelah merawat anggrek dan bunga matahari, aku menyiapkan makan siangmu, dengan sayur yang aku petik dari kebun kita.
Dengan ikan yang kita tangkap di danau belakang rumah.

Aku datang menghampirimu, yang kelelahan di ladang.
Keringat yang mengalir di lenganmu yang kokoh, rambutmu yang basah, dan pipimu merah karena udara dingin membekukannnya. Aku mengusap peluhmu dengan cinta.
Apapun yang aku masak, kau dengan lahap memakannya. Dan aku tersenyum dengan binar mata bahagia memandangimu.
"Istirahatlah sejenak, kau tak perlu bekerja sekeras ini", bisikku. Aku sudah sangat merasa cukup dengan apa yang sudah kita miliki saat ini.

Kau rebah di pangkuanku, melepas lelah, di bawah pohon rindang dekat di danau.
Aku nyanyikan kau lagu sambil membelai rambutmu yang kau biarkan panjang tak beraturan dan kaupun tertidur pulas dengan senyum yang tersungging tipis di bibirmu. Mungkin mimpi indah yang hadir menemanimu.

Menjelang senja, kita enggan beranjak. Mengantarkan mentari jingga tertelan bumi, meninggalkan damai di hati.
Tangan kita erat bergenggaman, kita beranjak pulang... dengan tanganmu yang kau lingkarkan, memelukku...

Malam hari, di rumah kayu...
Di beranda berpagar kayu, berteman jangkrik. Langit pekat, jalan jalan kecil menuju rumah kita hanya diterangi oncor saja. tak ada lampu mercury seperti di kota. Kita menengadah...memandang langit tanpa polusi cahaya.
Jutaan bintang menari indah, berkedip kedip tanpa lelah.
kau tunjuk satu bintang terang di langit timur, " itu kejora" jawabku sekenanya. Kau tersenyum, memandangku yang tak henti berdecak kagum. Dalam hati aku bernyanyi...

Fly me to the moon
And let me play among the stars
Let me see what spring is like on jupiter and Mars

In others words, hold my hand
in others words, baby kiss me

Fill my heart with song
And let me sing forever more
You are all i long for
All i worship and adore

in other words, please be true...
In other words, I LOVE U

Di rumah kayu kita bertemu, merangkumkan cinta...
Rumah di langit angan angan kau menyebutnya.


Ini kebun bunga matahariku



Our favorite spot; sunset di kebun bunga matahari




Ini strawberry hasil panen di kebunmu

Friday, June 16, 2006

Aku mengais harap,
Yang tertimbun puing hati remuk redam
Tertindih kesombongan dan kepongahan yang tak mampu ditaklukkan
Aku mengusung jiwa, dengan langkah tertatih
Labil dan gemetar

Kupungut serpihan cinta
Yang terbuang begitu saja
Untuk kemudian merangkainya kembali
Meski tak sempurna

Seutas tali terulur di sana
Masuk ke dalam perigi
Kuraih sepenuh hati
Merangkak menuju suatu dimensi
Mempertemukan harap yang seolah terkunci

Tuesday, June 13, 2006

AKU MALAM INI

Bulan bulat merah, mengantar langkahku di sisa senja hari ini. Tersangkut di reranting ranggas nan retas. Lapuk terbakar matahari. Aku berlari membawa hati, lelah terombang ambing perahu kecemasan yang tiada bertepi. Kutengadah sebelum berangkat, berharap temanku bintang ada di sana. Tak ada, sepi... Langit retak... awan membuat polanya.

Dingin sekali, purnama membuat angin terasa begitu menusuk sumsum, melinukan sendi. Kulewati jalan jalan kampung hatiku, ditemani oncor oncor penerangan, di jalan berkerikil tajam, dan di kelok jalan menuju jawab, akan tanya hati yang setelah dua minggu lebih bersemayam di sini.

"Hmmm malam ini akan menjadi malam yang panjang dan melelahkan buatku", meskipun aku sudah pernah merasai malam seperti ini sebelumnya. Dalam seminggu, pasti akan ada malam seperti ini. Pasti aku akan berteman kawanan jengah, dan menyiapkan telinga yang harus lebih tajam dari biasanya, mengasah otak agar harus mampu lebih banyak menyimpan, dan dengan jemari yang harus dengan cekatan menekan tuts di hadapan.

Di dalam ruangan, berdidinding salem. 20 derajat celcius, seharusnya aku sudah cukup kedinginan. tapi...seperti tertampar tatapan di seberang. Panas muka dihunus tatapan tajam kebencian. Wangi giorgio armani dan chanel membaur, membiusku. Pakaian rapi, sepatu mengkilat, dan rambut klimis.
Lengkap sudah malam ini. basa basi yang basi adalah pembukanya. Muka masam diseberang melotot garang, hendak menerkam.

Lima belas menit pertama, terasa lamban sekali jarum jam berputar. Seakan enggan berganti ke hitungan menit berikutnya. Aku melesat, rendahkan debu-debu antara ringkik enam pejantan menghela.
Aku menanti dengan was was, menanti jawab akan kecemasan beralasan.
sembilan puluh menit lebih. Masih dengan pembicaraan penutup yang panjang dan belum juga berakhir. "Ah mungkin belum malam ini terjawab". Aku harus menunggu suatu malam lagi di minggu berikutnya.

8 Km dengan 40 km/h. Dua roda melindas daun-daun kering dan jatuhan ranting pohon-pohon besar. Kunikmati dingin menikam, berteman langit retak malam ini, juga temanku bintang yang bersinar lemah kehilangan gairah. Membaca tulisan tangan di dinding hati, yang tertoreh dua minggu terakhir ini. Malam ini, aku belajar lagi untuk mendengarkan hati.

Aku malam ini, belajar untuk mengikhlaskan rasa kalah untuk kemudian menemukan ketenangan dalam batin.




*Terima kasih pohon rindang, kau memberi teduh kepada jiwa dilanda gersang.


CIK DITIRO/120606

Monday, June 12, 2006

LANGITKU PAGI INI

Membaca langitku pagi ini
Berteman kicau burung kenari
Yang bercicit riang tiada henti
Namun di sini
Ada kecemasan mengunci hati
Akumulasi dari ketakutan tak bertepi
Membuat langit suram tak tersenyum lagi...

Aku hanya menungu hari
Akan tiba saatnya nanti
lalu mati


mambaco langik den pagi ko
dikawanan dek suaro buruang kenari
nan mancicik sanang ndak baranti
tapi di siko
ado cameh mangunci hati
nan takumpua dek takuik ndak batapi
mambuek langik suram ndak tasenyum lai

ambo cuman manunggu hari
sabanta lai ka tibo masonyo
lalu mati

*Thanks Uda untuk translatenya

Friday, June 09, 2006

Bunga Terinjak

Kuncupmu mekar di taman hati
Indah diantara perdu
Semak melukai dan onak yang menghalangi
Tak hirau kau tetap berdiri
Menegakkan tangkai bungamu yang letih tak bertepi

Lalu, ilalang liar berduri itu datang menghalangi
Merampas lahan yang seharusnya menjadi tempat tumbuhmu
Kau kekeringan di ladangmu sendiri
Banyak hujan, tak hinggap di daunmu yang terlanjur mengering, kaku...
kau biarkan saja hampir seluruh tubuhmu mati
Berkelambu haru

Masih dalam hening malam itu
Berteman langit abu abu, nova bintang terang itu
Juga sepotong bulan yang pasi
menggerogoti hatimu yang seolah sendiri
Aku terduduk sembari memunguti serpihan beling itu
Muasal dari cerminan diri yang kau pecahkan
Perlambang kekalutanmu
Melukai hati dan jiwamu...
Meluluhlantakkan rasa di hatimu
Menyublimmu menjadi pesakit sejati
Menelikung saraf dan akal budi

Berlarilah saja
Jangan kau mau terinjak lagi

Wednesday, June 07, 2006

Seseorang diseberang angan
Berbingkai halimun kefanaan
Tak tereka bentuk
Yang ada hanyalah jelmaan keindahan
Dalam lantun kata
Dan rangkaian puisi yang mengusung imaji
Berlari meski timpang kaki, tak menghalangi

Jejak yang kau tinggalkan
Di hamparan pasir putih dikepung buih
Di helai nyiur tertiup sepoi
Di setiap pendar pandangan dan hela nafas kepenatan
Ada dalam ketiadaan

Seseorang di seberang angan
Menatap langit dari kejauhan
Meluahkan rasa lewat detik yang bergulir perlahan
Dan dingin angin malam
Juga awan awan yang ikut menyaksikan

Secawan madu, dari bunga liar yang kau kumpulkan
Mampu bangunkan dari tidur panjang
berhias mimpi buruk melelahkan

Kau yang diseberang angan
Di sana...
Mengulum senyum getir dalam ejaan

*Bernyanyilah bersamaku di sini, lepaskan lelahmu sejenak.
Jangan kau telan getir itu sendirian...
Berikan secawan untukku, bahkan aku sanggup menelannya lebih banyak jika itu mampu membantumu.
Mengembalikan harimu, mewarnai lagi langitmu hingga tidak melulu biru dan kelabu.

Monday, June 05, 2006

Kepala tak seharusnya menengadah
Di lingkunganmu yang seolah serba mewah
Di duniamu yang seindah batu kristal Berkilauan…
Seolah mengubur hatimu perlahan
Dalam gumpalan awan
Yang mengantarmu ke titik nadir

Kau seolah ingin mengabadikan diri
Menyeberangi lautan kenyataan dalam keangkuhan
Menafikan sekelompok kupu kupu bersayap lemah
Menjadikannya penghias alas kaki
Untuk kakimu yang tak lagi menapak bumi

Lalu
Kau berkata lantang
Tentang salah yang terlanjur kau limpahkan
Pada alas kaki yang kau injak injak
Mencuci kaki dan tangan berlumur daki

Kau juga menabuh nakara
Memukulnya hingga kebas kedua tanganmu dibuatnya
Sebatu nisan kau ciptakan
Dalam gegap gempita tawa menghinakan
Kau terlalu mengagungkan kekuasaan
Kau biarkan wajah dan tubuhmu licin tergerus jaman
Membengkalaikan hatimu yang terlanjur dipenuhi belatung
Membusuk

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]