Thursday, August 30, 2007

CEMBURU









Di dada yang melautkan prasangka
Cemburu yang mengonak
Membelit setiap penjuru nadi
Tak berkutik
Kutempuh ruang dalam gerbong fikirmu
Kutemukan langit hati terkatup rapat menyimpan duniamu
Menenggelamkan bintang dan bulan dalam redup matamu

Lalu bila tapak perih menempuhi hari yang berguncang
Masih bisakah kusentuh hati dengan hatiku?
Sementara musim tak juga berganti

Abjad meraba mencari makna
Di sudut mana kau simpan cemburumu?

Thursday, August 23, 2007

Stasiun Yang Bimbang














Aku mencoba memahami makna dari madu
yang kau semat pada kuntum kata-kata
Namun sayang...
aku tak menemukan apapun di kata itu
Tidak juga aku

Aku masih melukismu di gemawan..
pada daun, embun juga kabut
Meski segalanya lesap menuju senja
Buritan yang kita tinggalakan

Layaknya perjalanan,
Bunga yang menuju layu di kemudian
Demikian waktu jadi permainan

Mungkin kamu, adalah orang yang pernah melintas
di musim yang sama
Musim yang mengantarkan hujan kepada matahari
Dan dingin kian memagutku dalam hujan

Biarkan saja....
Aku menjadi stasiun yang bimbang
dilintasi kenangan demi kenangan

Yang Terjadi Kemudian










Aku hanya ingin ke tepi saja.
Memandang dari kejauhan,
kamu yang bermain dengan ombakmu,
atau...
Terbang di angkasamu.
Mengintip seringai senyum bahagiamu.

Semalam yang panjang,
aku menemukan jawaban atas pertanyaan yang datang
Memang demikian kejadian yang harus dijalani buatku,
dan jawaban itu menghentikan gundahku.

Lalu apa yang akan terjadi kemudian?
Apakah kita akan sama sama menjadi si asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya ? setelah kita menjadi orang yang saling mengenal selama ratusan tahun?

Apapun yang akan terjadi memang harus tinggal dijalani
pagi ini matahariku berjalan mengitari bumi seperti ribuan tahun sebelumnya

*) dipungut dari puing yang tercecer


Puisiku anak nurani?


Dinding hati bergetar
Tertampar angin yang sedianya bisu lalu bergolak
Mengapa jadi tak tentu?
Inilah hati yang tak lagi terhimpun
Bercecer kata-kata lalu hilang begitu saja
Tak tercerap, musnah saja dimakan senja

Alangkah indahnya nyeri yang membungkusku
Meski matahari masih garang memanggang
Dan orang-orang terbahak
Tak ingin kutanya...
Tak ingin larut dalam tawa mereka
Kuukir saja maknanya
di bibir harapan kering
Di bukit terjal impian

Ah aku terkesima
Membisik lamat di telinga
Sebuah puisi yang lahir sebagai anak nurani
Kenang saja dunia
yang tentu saja tak sia-sia

Friday, August 10, 2007

Aku membaca Aku, di Bekunya Biru

Aku membaca kerinduanmu...
atas kesederahanaan sikap dalam menjalani hidup
Aku mulai bisa menemukan kemana muara dari puisi puisimu
ialah kepada seseorang yang
berarti dimasa lalu dan tiba tiba pergi begitu saja.
meninggalkan akar-akar ilalang.
Ia tetap bernafas dikedalaman timbunan tanah jiwamu.
Jika tiba saatnya hujan, dia akan menyembul kepermukaan dan kau akan
dengan setia mencabutinya, meskipun telapak perih dibuatnya.
Seseorang yang tidak pernah pergi dari hati...
itulah alamat keresahanmu, Bukan begitu ?

"Apakah penghuni bumi masih punya nurani?"
tanyamu di sela keriap angin menerpa dedaunan bambu.
"Tentu saja" jawabku pasti.
Kau boleh menyandarkan kebahagiaan hati kepada orang lain.
Boleh !!!
Kau tidak sedang menggantungkan setengah badan ditiang awan.

Kau tau'
Hadirmu ibarat malaikat, tiba tiba menghangatkan ketika aku tengah
bercumbuan dengan bintang, awan dan jejak bulan.
Lalu... engkau menjadi janji yang selalu menepati.
Datang setiap pagi dan sepanjang hari
menghangatkan, menyinari setiap kegelapan yang menyembunyikan
semuanya dari pandangan bumi.

Aku..membaca aku
Hari ini
Di bekunya biru
Di birunya beku
Salahkah menurutmu?


Wednesday, August 08, 2007

Tak Kan Kubiarkan Kau Tenggelam di Dalamnya

Kita melarung jiwa
Pada putaran waktu yang tak berujung
Meneguk tiap tetes air yang jatuh dari payung langit
Memamah lalu memuntahkan luka

Kita berlayar dalam ketergesaan
Menuju sebuah titik, membawa inti yang tak lagi bermassa
HAMPA...
Melintasi lembar demi lembar kisah
Mengabadi di palung hati
Tak terjamah siapa selain jiwa

Dan...
Jika kini kau hadir mengabarkan luka
Mari kutampung lagi air mata
Menyusutnya dengan sapuan tanganku yang pernah luka
tak kan kubiarkan kau tenggelam
di dalamnya

Friday, August 03, 2007




Wednesday, August 01, 2007

Aku si dungu
Berkubang dalam lumpur kata kata
Semoga saja kau anggap palsu
Mengalir bak air comberan bau

Aku dungu...
Berharap kau menderita rabun dekat
Tak mampu membaca apa saja yang tersurat
Masih bolehkah aku berharap untuk lekat?
Sementara tak ada ruang tempat berharap


*Adakah kau tau galauku???

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]